Iwan Aflanie

Beberapa waktu terakhir terjadi polemik dan perbedaan pendapat seputar penetapan Zona Hijau pada beberapa kelurahan di Banjarmasin. Penetapan yang dilakukan oleh pemerintah kota tidak sepenuhnya disepakati oleh banyak pihak termasuk para pakar. Sejatinya tujuan utama dari penetapan Zonasi Resiko Covid 19 adalah untuk melindungi masyarakat dari bahaya dan resiko Covid 19. Jadi yang harus digarisbawahi adalah untuk kepentingan masyarakat.

Mengacu pada Navigasi Zona Resiko Covid 19 yang dikeluarkan olah Gugus Tugas Nasional Covid 19 terdapat 4 indikator warna untuk menggambarkan tingkat resiko. Merah untuk resiko tinggi, Orange untuk resiko sedang, Kuning untuk resiko rendah dan Hijau untuk terkendali.

Indikator warna ini juga bertujuan sebagai panduan kewaspadaan bagi pemerintah dan masyarakat, disamping itu dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan diberbagai sektor, termasuk ekonomi.

Bagi pemerintah ketidakcermatan dan kekeliruan dalam penetapan Zona Resiko (apalagi hijau) sangat berpotensi menyebabkan kekeliruan dalam pengambilan kebijakan dan bagi masyarakat dapat menyebabkan kesalahan dalam bersikap yang berujung pada transmisi Covid 19 menjadi tidak terkendali.

Kekeliruan dalam penetapan Zona Resiko akan memberikan dampak yang besar pada masyarakat. Suatu wilayah yang seharusnya berstatus Merah namun ditetapkan sebagai zona Hijau akan menyebabkan timbulnya rasa aman palsu bagi masyarakat. Perasaan aman palsu ini akan menyebabkan mereka melonggarkan penerapan protokol kesehatan. Tentunya hal ini sangat berbahaya.

Disisi lain penepan zona apalagi hijau per kelurahan menjadi tidak lagi relevan dikala telah terjadi transmisi yang masif dalam suatu wilayah kota/kabupaten. Resiko Covid 19 melekat pada populasi bukan pada wilayahnya. Transmisi yang terjadi disebabkan oleh adanya pergerakan orang.

Suatu kelurahan yang sudah ditetapkan hijau tidak serta merta mencerminkan daerah tersebut telah terkendali, kecuali pergerakan keluar masuk orang pada daerah tersebut telah dapat dikendalikan dan terpantau dengan jelas.

Penetapan Zona Resiko berdasarkan warna ini sebenarnya termuat dalam Kepmendagri (ditujukan untuk ASN Kemendagri) dan Navigasi Zona Resiko yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Covid 19. Sementara itu Revisi kelima dari Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tidak memuat zona resiko. Tentunya kurang relevan bila mengaitkan secara langsung revisi kelima Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 dengan zonasi warna pada suatu wilayah.

Dalam hal tingkat kewaspadaan pada suatu wilayah, revisi kelima Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 hanya memuat istilah terkendali. Untuk berstatus terkendali suatu wilayah harus dinilai dalam tiga parameter yang sangat ketat. Ketiga parameter tersebut adalah aspek epidemiologi, aspek pelayanan kesehatan dan aspek surveilans yang terbagi-bagi lagi kedalam berbagai indikator capain. Harus diakui tidaklah mudah untuk merubah status zona merah menjadi terkendali berdasarkan pedoman tersebut.

Pada banyak daerah penggunaan zonasi sampaisaat ini masih dilakukan dan istilah zona hijau berdasarkan pedoman Navigasi Zona Resiko yang dikeluarkan Gugus Tugas Covid 19 dirasa masih relevan dengan istilah terkendali. Secara sederhananya zona hijau berarti dalam suatu wilayah tidak pernah ada kasus (perawan) atau pernah ada kasus namun tidak terjadi penambahan kasus baru dalam 4 Minggu terakhir dan angka kesembuhan 100 persen.

Perlu diwaspadai bahwa status zona disuatu wilayah bersifat dinamis sangat tergantung dari mobilitas penduduk didalam dan antar wilayah, mengingat transmisi Covid 19 melekat pada populasi bukan pada wilayahnya.

Pergerakan angka statistik juga patut menjadi perhatian mengingat penetapan zona berpatokan pada pergerakan angka-angka. Bila pada suatu daerah mengurangi upaya pelacakan maka akan terjadi penurunan kasus, bahkan kasus Covid 19 bisa menjadi nol atau tidak ditemukan lagi bila di wilayah tersebut tidak lagi dilakukan pelacakan. Dalam dunia riset dan statistik hal ini seringkali disebut sebagai false negatif atau negatif palsu. Sangat berbahaya.

Penetapan zonasi berdasarkan kelurahan menjadi kurang relevan ketika orang yg terpapar Covid 19 jumlahnya besar dan mobilitas penduduk antar kelurahan tidak dapat dipantau dan tidak dapat dibatasi. Tidak mengherankan bila suatu kelurahan yang sudah ditetapkan hijau tiba-tiba berubah menjadi merah kembali. Faktor pergerakan penduduk dan ancaman negatif palsu patut diwaspadai.

Penetapan zona dirasa masih efektif bila diterapkan pada wilayah yang lebih luas seperti kota/kabupaten dan provinsi dengan catatan pergerakan penduduk dan transmisi bisa terpantau. Bila kondisi ideal tercapai dan zonasi hijau sudah tidak lagi mudah bergeser maka patutlah suatu wilayah dikatakan terkendali.

Kesimpulannya kita perlu kehati-hatian , kecermatan, berbagai diskusi dan keterlibatan para ahli dari berbagai disiplin ilmu guna mencapai kondisi terkendali.

Dr. Iwan Aflanie, dr., M. kes, Sp.F, SH adalah Wakil Dekan Bidang Akademik FK ULM dan Ketua Tim Pakar Percepatan Penanganan Covid 19 ULM.