‘Muttaqin menyoroti soal penghijauan zona kelurahan cukup riskan dan dapat mengancam angka infeksi yang sudah tinggi menjadi lebih besar lagi. Serta dasar rujukan yang kurang tepat. Disini Pakar dari ULM itu juga dipertanyakan soal kerancuan data kasus yang disuguhkan ke publik’


Banjarmasin, KP – Anggota Tim Pakar Percepatan Penanganan CoVID-19 dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hidayatullah Muttaqin menyoroti soal penetapan zona hijau untuk kelurahan yang dilakukan oleh Pemko Banjarmasin.

Menurutnya, zona hijau yang ditetapkan Pemko terhadap beberapa kelurahan cukup riskan bagi pengendalian pertumbuhan CoVID-19 di kota ini. Bahkan jika ditengok lebih jauh, ini juga dapat mengancam angka infeksi yang sudah tinggi menjadi lebih besar lagi.

Muttaqin yang juga merupakan Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan ULM menyampaikan beberapa alasannya. 

Pertama, Pemko tidak menggunakan kriteria ketat yang telah ditetapkan oleh Gugus Tugas Pusat. Sehingga penetapan menjadi zona hijau sangat longgar dan bias. 

“Rujukan indikator itu ada di peta risiko milik Gugus Tugas Pusat. Kalau Pemko menggunakan standar yang berbeda, saya tidak tahu apa maksudnya?,” ucapnya kepada Kalimantan Post, Sabtu (25/07/2020).

Dia menjelaskan, berdasarkan peta yang dirilis oleh Dinas Kesehatan Banjarmasin pada 25 Juli, tampak hitungan teknis zona hijau hanya berdasar pada formula kasus positif dikurangi angka kesembuhan dan pasien meninggal. Jika jumlahnya sama dengan nol, maka kelurahan tersebut menjadi zona hijau. 

“Ambil contoh Kelurahan Kertak Baru Ilir. Jumlah kasus positif 6, sembuh 5, dan meninggal 1 kasus, sehingga kasus aktifnya menjadi nol. Karena itu kemudian kelurahan Kertak Baru Ilir menjadi zona hijau,” jelasnya.

Kedua, klaim zona hijau itu secara psikologis menurut Muttaqin tidak baik. Karena salah satu problem di Banjarmasin adalah bagaimana mengedukasi masyarakat sehingga mereka kemudian menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Tetapi fakta di lapangan sangat banyak anggota masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan. 

Nah, jika Pemko merilis zona hijau yang tolak ukurnya sangat bias, maka itu akan membuat masyarakat semakin terlena sehingga menjadi semakin abai terhadap penerapan protokol kesehatan. 

“Mereka (masyarakat) bisa saja menganggap situasi sekarang semakin normal dan bebas keluar rumah karena sudah ada zona hijau,” ujarnya.

Ketiga, penetapan zona hijau itu tidak serta merta membuat kelurahan tersebut bebas dari ancaman penularan CoVID-19. Karena Pemko tidak mampu menjamin dan mengontrol mobilitas atau pergerakan penduduk yang masuk dan keluar zona hijau. 

“Padahal pertumbuhan dan penyebaran CoVID-19 sangat bergantung pada mobilitas penduduk,” katanya.

Selain itu, Mauttaqin menyoal data yang dirilis untuk merefleksikan warna zona tidak konsisten. Sebagai contoh resmi, data yang dirilis untuk agregasi level kota kasus positif sebanyak 2099 kasus, dirawat atau kasus aktif sebanyak 1045 kasus, sembuh 890 kasus dan meninggal sebanyak 140 kasus.

Sekarang dilihat dari data kasus positif, sembuh, dan meninggal pada tiap kelurahan. Dari 52 kelurahan diperoleh jumlahnya mencapai kasus positif sebanyak 1.763, sembuh 1.170, meninggal 166 kasus. Berdasarkan penjumlahan ini maka diperoleh data kasus aktif atau dirawat sebanyak 440 kasus.

Jadi menurut Muttaqin, data yang disajikan oleh Pemko sendiri tidak sinkron dengan rilis data agregasi pada level kota. Sehingga ketidak singkronan ini membuatnya agak bingung, apakah kasus positif yang disebutkan dalam infografis adalah data total kasus positif, atau data kasus aktif (dirawat) saja. 

“Ini perlu penjelasan dan perbaikan supaya data tersebut dapat “dipegang” oleh publik,” bebernya.

Lebih lanjut, Muttaqin juga memberikan tanggapan ketika menhetahui bahwa, acuan Pemko dalam menetapkan zona hijau adalah Keputusan Mendagri Nomor 440 – 830 Tahun 2020 yang dipadukan dengan buku pedoman CoVID-19 revisi ke lima dari Kemenkes.

Menurutnya, penggunaan Kepmendagri itu untuk menentukan kondisi epidemiologi suatu wilayah tentu kurang tepat. Sebab Kepmendagri tersebut ditujukan untuk ASN agar pemerintahan berjalan.

“Permendagri tersebut tujuannya untuk ASN, untuk jalannya pemerintahan. Bukan rujukan untuk menentukan kondisi epidemiologi suatu wilayah. Judul Kepmendagrinya saja sudah sangat jelas. Jadi saya lihat ini seperti dipaksakan,” tukasnya.

Menggapai hal ini, Kepala Dinas Kesehatan Banjarmasin, Machli Riyadi menyatakan, sah-sah saja jika Kepmendagri Tentang Pedoman Tatanan Normal Baru Produktif dan Aman CoVID-19 Bagi ASN di Lingkungan Kemendagri dan Pemerintah Daerah itu dipakai untuk menentukan kondisi epidemiologi suatu wilayah.

Alasannya karena di dalamnya memang ada diatur terkait penetapan zonasi, meskipun tak diatur secara khusus. “Tidak ada peraturan yang khusus mengatur tentang zona, sehingga diaturnya dalam satu BAB saja. Ya, asal orang bisa memahami maksud dan isinya tidak sekedar baca judul. Itu salah satu dari beberapa referensi yang kita rujuk,” katanya.

Selain itu, Machli mengakui dalam buku pedoman revisi lima Kemenkes juga memang tak ada mengatur secara eksplisit terkait zonasi. Namun berdasarkan tapsiran pihaknya penetapan zona hijau itu bisa dilakukan.

“Sebenarnya buku ini dapat menjelaskan dan mempertegas indikator wabah terkendali yang dikehendaki dalam zona hijau tersebut,” imbuhnya.

Machli pun menanggapi santai terkait kritikan yang disampaikan Muttaqin. Sebab menurutnya apa yang dilakukan sudah sesuai aturan dan bisa dipertanggungjawabkan. 

“Silakan saja para ahli berbicara, kita tentu juga punya alasan dan dasar hukum tentunya yang bisa  kita rujuk sebagai referensi utuk dilertanggung jawabkan,” katanya lagi.

“Perlu di ingat yang kita tetapkan itu adalah zonasi pada tingkat kelurahan bukan tingkat kota. Dan kita sudah melakukan evaluasi serta analisis bersama sama dgn kepala puskesmas dan tim surveilen terhadap data – data yang kita miliki dan pantau” tukasnya. (sah/KPO-1)

Sumber: Kalimantan Post

Sumber tulisan: https://kalimantanpost.com/2020/07/zona-hijau-kelurahan-di-banjarmasin-terkesan-dipaksakan/