Tim Pakar ULM: Agar Tak Bias, Peta Zonasi Risiko Harus Didukung Kecukupan Sampel Tes PCR
ULM untuk BPost -Anggota Tim Pakar Percepatan Penanganan Covid-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hidayatullah Muttaqin, SE., MSI., Pg.D,

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN – Keberadaan peta yang menggambarkan kondisi dan situasi pandemi Covid-19 sangat penting bagi pemerintah pusat dan daerah dalam rangka monitoring dan evaluasi.

Peta zonasi risiko juga penting agar mudah dipahami masyarakat umum dengan melihat warnanya.

Namun, menurut Anggota Tim Pakar Percepatan Penanganan Covid-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hidayatullah Muttaqin, SE., MSI., Pg.D, penyusunan peta zonasi risiko tidak bisa dilakukan sembarangan.

Ia menilai persoalan utama dalam penggambaran kondisi pandemi Covid-19 di tiap-tiap daerah adalah lemahnya testing Covid-19.

Tanpa dukungan jumlah testing yang memadai, maka peta zonasi risiko tidak dapat menggambarkan situasi pandemi mendekati kondisi riil.

Bahkan warna zonasi risiko pada peta tersebut menjadi bias akibat ketidakcukupan jumlah sampel untuk menggambarkan populasi.

Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, jumlah sampel tes PCR yang harus diambil adalah satu per seribu penduduk (1/1000) setiap minggunya.

“Sementara pada tingkat nasional pada minggu IV Oktober baru mencapai 63 persen dari standar WHO. Pada minggu I dan II November jumlah tes sebanyak 67 persen dan 86 persen dari standar,” bebernya.

Permasalahannya adalah jumlah tes PCR nasional tersebut tidak merata di setiap daerah.

Misalnya pada minggu kedua Bulan Nopember 2020, dari 233 ribu orang yang dites sebayak 74 ribu di antaranya adalah penduduk Jakarta.

Bahkan secara kumulatif dari hampir 3,5 juta orang yang sudah menjalani tes PCR, sebanyak 43 persen disumbangkan oleh provinsi DKI Jakarta.

Banyak daerah di Indonesia mengalami penurunan angka testing sejak bulan Agustus hingga saat ini.

Parahnya, penurunan tes PCR tersebut terjadi di tengah peningkatan kapasitas laboratorium.

Ia menilai ada indikasi penurunan tes PCR terkait momen Pilkada Serentak.

Akibatnya tentu saja laju tambahan kasus baru di daerah tersebut cenderung menurun sehingga peta zonasi risiko bisa menjadi bias.

Sejumlah daerah yang mengalami penurunan kasus baru secara signifikan akibat turunnya tes PCR diikuti dengan angka positive rate yang sangat tinggi.

Bahkan ada daerah dengan positive rate di atas 40 persen.

Padahal menurut stadnar WHO, pandemi baru dikatakan terkendali jika positive rate berada pada level 5 persen atau di bawahnya selama 2 minggu berturut-turut dengan persyaratan kecukupan jumlah sampel sebesar 1/1000 penduduk.

Untuk penurunan kasus baru dan pengendalian pandemi Covid-19, maka yang diperlukan adalah peningkatan tes PCR terhadap penduduk hingga memenuhi syarat WHO dan dilakukan secara konsisten.

Pada tahap awal, langkah ini berpotensi mendorong lonjakan kasus karena menyebabkan semakin banyaknya penduduk yang terdeteksi terinfeksi virus Corona.

Namun dengan data yang semakin valid, Peta Zonasi Resiko lebih mendekati kondisi riil sehingga akan sangat berguna dalam kebijakan memangkas angka pertumbuhan kasus baru ke depannya.

Sumber: Banjarmasin Post – Penulis: Achmad Maudhody