BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN – Industri pertambangan yang dihantam efek pandemi covid-19 dipastikan ikut menyeret dan menjadi faktor pelambatan pertumbuhan perekonomian Kalsel.

Hal ini menjadi salah satu kesimpulan kajian yang dilakukan dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan yang juga anggota Tim Pakar Percepatan Penanganan COVID-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hidayatullah Muttaqin, SE., MSI., Pg.D.

Menurut Muttaqin, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Kalsel pada triwulan II 2020 (YoY) mengalami kontraksi sebesar -2,6 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2019.

Jatuhnya perekonomian Kalsel pada triwulan I ini menurutnya adalah hal yang tidak dapat dielakkan karena pandemi covid-19 tidak hanya membuat roda perekonomian mengalami kemacetan di Kalimantan Selatan, tetapi juga terjadi hampir di seluruh belahan dunia.

Virus Corona (SARS-CoV-2) yang ukurannya sangat kecil ini dalam waktu singkat menyebar dan menggerogoti kesehatan masyarakat dan juga pertumbuhan ekonomi.

-Suramnya Harga Batu Bara

Pada triwulan II Tahun 2020 ini, sebagian besar sektor perekonomian Kalsel pertumbuhannya mengalami kontraksi akibat digerogoti pandemi covid-19.

Termasuk tiga sektor ekonomi paling besar yang nilainya hampir setengah dari nilai PDRB Kalsel, yaitu pertambangan, pertanian dan industri juga mengalami pertumbuhan negatif.

Bahkan sektor pertambangan memberikan sumbangan sebesar -1,5 persen dari -2,6 persen pertumbuhan Kalsel.

Dijelaskannya, sektor pertambangan Kalsel sudah mengalami perlambatan sejak triwulan I 2019.

Bahkan pada triwulan IV, pertumbuhan sektor ini minus 1,5 persen meskipun sempat rebound ke 0,1 persen pada triwulan I 2020.

Dengan pertumbuhan -6,0 persen, peranan sektor pertambangan dalam perekonomian Kalsel mengalami penyusutan sebesar -2,2 persen dibanding triwulan I 2020.

“Suramnya sektor pertambangan tidak lain adalah akibat jatuhnya harga batu bara di pasar internasional,” kata Muttaqin.

Berdasarkan harga acuan batu bara yang dirilis oleh Kementerian ESDM, nilainya mencapai USD 108 per ton pada Agustus 2018.

Harga batubara kemudian terus menggelinding ke bawah hingga USD 50 per ton pada Agustus 2020.

-Keterkaitan Batu Bara dan Minyak

Pergerakan harga batu bara sangat terkait dengan perkembangan harga minyak dunia, karena batu bara adalah substitusi minyak.

Dalam 5 tahun terakhir harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berada di puncak tertinggi pada awal Oktober 2018, yaitu sebesar USD 74 per barel.

Setelah itu harga minyak mentah secara gradual mengalami penurunan.

Bahkan pada bulan April harga WTI sempat berada pada posisi minus.

Saat ini harga minyak mentah WTI nilainya sekitar USD 43 per barel.

Kejatuhan harga minyak dan batu bara adalah akibat terjadinya pelemahan permintaan global.

Pertumbuhan ekonomi dunia sudah mulai melambat pada tahun 2018 hingga 2019 yang salah satu sebab utamanya adalah karena terjadinya perang dagang AS-China.

Pandemi covid-19 di Tahun 2020 ini makin memperparah kondisi ini dan diyakini membuat pertumbuhan ekonomi dunia akan semakin suram.

IMF (2020) dalam World Economic Outlook memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan terkontraksi sebesar -4,9 persen sedangkan Bank Dunia (2020) dalam World Economic Prospects mematok angka -5,2 persen untuk pertumbuhan 2020.

“Proyeksi kontraksi ekonomi global tersebut jelas merupakan sebuah peringatan bahwa harga batubara yang menjadi komoditas primadona Kalsel mungkin akan masih menggelinding ke bawah. Artinya perekonomian Kalsel belum dapat lepas dari tekanan jatuhnya harga batu bara pada dua triwulan berikutnya,” paparnya.

Besarnya efek penurunan harga batu bara global terhadap perekonomian Kalsel disebabkan dominannya komoditi tambang ini dalam struktur ekspor dan besarnya nilai sektor pertambangan dalam PDRB.

Sementara peranan ekspor impor Kalsel dalam PDRB pada triwulan II 2020 mencapai 98 persen sedangkan pada perekonomian nasional hanya 31 persen.

Ini artinya tingkat keterbukaan perekonomian Kalsel terhadap perekonomian global hampir mencapai 100 persen.

Akibatnya, perekonomian Kalsel lebih rentan terhadap pengaruh gejolak ekonomi global dibanding perekonomian nasional.

-Transformasi Ekonomi

Meskipun sektor pertambangan suram, menurut Muttaqin hendaknya menjadi motivasi bagi Kalsel untuk segera meletakkan fondasi transformasi ekonomi.

Yaitu Kalsel harus merubah ketergantungan pada sumber daya alam menuju perekonomian yang mengandalkan sumber daya manusia dan teknologi meski tidak mudah dan pencapaian hasilnya adalah dalam jangka panjang.

Hal ini kata Muttaqin penting dilakukan meski tak ada pandemi sekalipun.

Pasalnya, indeks harga komoditi barang tambang cenderung menurun dalam jangka panjang.

Karenanya, suatu daerah atau negara yang bergantung pada sektor pertambangan cenderung mengalami kerugian.

Lalu lapangan kerja yang tercipta di sektor pertambangan secara proporsional cukup rendah.

Pada Februari 2020, sektor pertambangan hanya menyerap 4,5 persen tenaga kerja.

Saat harga melambung, maka pertumbuhan di sektor pertambangan akan mendorong ketimpangan ekonomi yang lebih tinggi.

Selain itu, eksploitasi tambang memiliki kaitan erat dengan degradasi lingkungan hidup dan kerusakan hutan lindung.

Eksploitasi yang semakin masif untuk meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan semakin tingginya laju degradasi lingkungan dan meninggalkan warisan yang sangat sedikit bagi generasi penerus.

“Kejatuhan harga batu bara memang agak menyakitkan bagi perekonomian Kalsel. Tetapi momen ini harus menjadi motivasi agar Kalsel segera melakukan transformasi ekonomi. Di sisi lain kondisi ini juga menjadi berkah tidak terduga (blessing in disguise) untuk menghentikan laju kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Sumber: Banjarmasin Post, 26 Agustus 2020 – Penulis: Achmad Maudhody