Banjarmasin: Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Hidayatullah Muttaqin mengatakan program Bantuan Subsidi Upah (BSU) penting menahan kejatuhan daya beli masyarakat.

“Sangat penting langkah-langkah mitigasi untuk menahan laju penurunan daya beli masyarakat terdampak pandemi covid-19. Salah satu cara untuk menjaga daya beli masyarakat adalah dengan memberikan subsidi upah,” terang dia di Banjarmasin dikutip dari Antara, Kamis, 27 Agustus 2020.

Strategi serupa, ungkap dia, telah dilakukan di sejumlah negara maju khususnya ketika menghentikan operasi kegiatan ekonomi atau lockdown untuk menurunkan tingkat penyebaran atau melandaikan kurva covid-19.

Kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan untuk memberikan BUS sebesar Rp600 ribu selama empat bulan kepada para karyawan swasta yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan sangat penting bagi masyarakat. Namun ada beberapa hal penting terkait bantuan itu menurut dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis ULM itu perlu diperhatikan.

Pertama, pemerintah harus dapat memastikan bantuan tersebut diterima oleh karyawan yang berhak menerimanya.

Kedua, meskipun harus memiliki data valid, kecepatan penyaluran sangat penting. Semakin cepat penyaluran semakin tertolong dapur rumah tangga dan itu juga memberikan dampak positif untuk menaikkan permintaan masyarakat.

Ketiga, bantuan jangan dibatasi kepada karyawan yang bekerja di sektor formal saja. Sebab jumlah pekerja di sektor informal jauh lebih banyak dari sektor formal dengan proporsi sekitar 57 persen.

Keempat, bantuan juga harus menyasar para pekerja di sektor Usaha Mikro. Karena jumlah pekerja di sektor ini mencapai 87 persen dari para pekerja di Indonesia.

Ditambahkan Taqin, perekonomian nasional pada triwulan II mengalami kontraksi sebesar minus 5,3 persen. Kontraksi ini juga menandai terjadinya penurunan daya beli masyarakat.

Hal ini terlihat dengan negatifnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar minus 5,5 persen. Hal yang sama juga dialami oleh Kalimantan Selatan dengan perekonomian terkontraksi pada kedalaman minus 2,6 yang disertai dengan jatuhnya konsumsi rumah tangga sebesar minus 3,2 persen.

Tertekannya daya beli masyarakat tidak dipicu oleh inflasi yang tinggi. Sebaliknya inflasi masih cukup rendah, bahkan pada Juli 2020 terjadi deflasi baik di Kalimantan Selatan maupun di tingkat nasional.

“Kejatuhan daya beli masyarakat ditransmisikan dari hilangnya atau berkurangnya pendapatan rumah tangga akibat terjadinya PHK massal atau dirumahkannya para pekerja sementara waktu di masa pandemi hingga perusahaan kembali beroperasi,” papar anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan covid-19 itu.

Pelemahan daya beli juga didorong oleh jatuhnya pendapatan UMKM akibat terhenti atau terganggunya kegiatan usaha dan melemahnya permintaan pasar. Ini dapat terjadi karena peran UMKM cukup besar di mana keberadaannya mencapai 99,99 dari jumlah usaha dan menyediakan lapangan kerja bagi 97 persen tenaga kerja Indonesia.

Menurut dia, kejatuhan daya beli masyarakat cukup berbahaya untuk Kalsel dan perekonomian nasional. Sebab perekonomian masih ditopang oleh konsumsi. Peran konsumsi rumah tangga dalam perekonomian nasional pada triwulan II sekitar 57 persen. Sedangkan dalam perekonomian Kalsel sekitar 49 persen. Karena itu, daya beli masyarakat harus dijaga jangan jatuh lebih dalam lagi.

“Jika pada dua triwulan berikutnya konsumsi rumah tangga tetap mengalami pertumbuhan negatif, maka ini dapat memicu perekonomian kembali mengalami kontraksi. Kontraksi dapat semakin dalam jika tidak ada upaya menahan penurunan daya beli masyarakat,” pungkas dia.

Sumber: Medcom, 27 Agustus 2020.