Oleh: Dr. Muhammad Abdan Shadiqi, S.Psi., M.Si

Pro dan kontra pelaksanaan pemilu akhirnya berujung dengan tetap dilaksanakannya pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak pada 9 Desember 2020. Pada survei sekitar Juli-Agustus 2020 yang saya lakukan bersama tim SnEBLAB, menemukan bahwa sebanyak 35 % dari 672 sampel warga Kalsel tidak setuju untuk dilaksanakan pilkada di masa pandemi, meskipun menerapkan protokol kesehatan, sementara 37% sampel menyatakan ragu-ragu.

Penolakan dan keraguan ini muncul karena kekhawatiran akan peningkatan penyebaran COVID-19 saat pelaksanaan pilkada serentak. Pertimbangan ini juga bergambar dari angka kejadian kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia yang belum juga mengalami penurunan signifikan. Sebaliknya, roda pemerintahan harus tetap berlanjut sesuai amanat UU. Jika pilkada ditunda karena pandemi, belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentu telah menyiapkan aturan-aturan protokol kesehatan, misalnya saat pencoblosan. Beberapa diantaranya adalah kewajiban menggunakan masker, disediakannya sarung tangan sekali pakai untuk pemilih, jaga jarak 1 meter, tidak ada jabat tangan/kontak fisik, ketersediaan fasilitas cuci tangan, jumlah maksimal pemilih dalam TPS (tempat pemungutan suara) pada satu waktu, pengecekan suhu tubuh, hingga aturan mengenai setting TPS.

Permasalahannya adalah saat ini tidak semua orang patuh pada protokol kesehatan. Beberapa survei menemukan bahwa orang-orang muda kurang patuh pada protokol kesehatan. Padahal orang-orang muda ini sebagian besar terkategori sebagai pemilih pemula atau orang-orang yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya.

Selain itu, ada kemungkinan para pemilih pemula menjadi malas menggunakan hak pilih di masa pandemi karena kurangnya pengetahuan politik serta kemalasan mengikuti protokol kesehatan. Maka KPU bersama pihak terkait lain harus menyiapkan strategi edukasi maupun sosialisasi untuk mengatasi dua masalah di pilih pemula, yakni mengantisipasi partisipasi politik yang rendah dan pengabaian protokol kesehatan.

Pemilih lansia juga harus mendapat perhatian khusus, karena kerentanan mereka terhadap COVID-19. Apalagi jika mereka memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Solusinya adalah dengan memberikan prioritas khusus, misalnya menyediakan jadwal khusus bagi pemilih lansia untuk menggunakan hak pilihnya.

Namun dengan adanya aturan maksimal 12 pemilih dalam TPS dan penyediaan jadwal khusus bagi pemilih prioritas, maka ada kemungkinan semakin panjangnya durasi pemungutan suara. Hal ini berimbas pada durasi perhitungan suara yang semakin panjang.

Untuk itu, kesehatan anggota penyelenggara pilkada juga harus diperhatikan, mereka harus diberi asupan suplemen/vitamin dan istirahat yang cukup sambil tetap menegakkan protokol kesehatan saat bertugas. Jangan sampai sejarah kematian petugas di pemilu 2019 kembali terulang. Apalagi saat ini kita menghadapi virus mematikan di pesta demokrasi daerah.[]

Dr. Muhammad Abdan Shadiqi, S.Psi, M.Si adalah dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran dan anggota Tim Pakar Percepatan Penanganan Covid-19 ULM.