Oleh: Dr Taufik Arbain, M.Si
SEMUA negara saat sedang diuji kemampuannya dalam melakukan pilihan kebijakan (policy choice) terkait merebaknya wabah Covid 19. Berbagai langkah kebijakan diambil seperti yang tren dengan sebutan berupa lockdown, social distancing, physical distancing sampai pada istilah karantina wilayah maupun karantina kampung.
KERAJAAN Arab Saudi misalnya tertanggal 27 Februari 2020 dengan sigap bahwa virus covid dibawa orang asing yang berkunjung ke Arab Saudi, sehingga kerajaan langsung menggambil kebijakan melarang masuk orang asing ke negaranya.
Demikian pula Malaysia, pada 18 Maret 2020 maupun India mengambil langkah yang mereka sebut lockdown dengan melakukan perangkat-perangkat kebijakan dalam memastikan konsistensi atau instruksi tersebut.
Fakta kasus Covid-19 sampai tanggal 27 Maret misalnya Malaysia: (a) kasus 2,031; kematian 24; pasien sembuh 215 (b) Thailand: kasus 1.136; kematian 5; pasien sembuh 97 (c) Filipina: kasus 707; kematian 45; pasien sembuh 28 ( d ) Singapura: kasus 683; kematian 2; pasien sembuh 172 dan (e) Indonesia tertanggal 29 Maret: kasus 1.155; kematian 114; pasien sembuh 64.
Realitas ini beranjak dari analisis kebijakan masing-masing negara sesuai dengan kemampuannya. Lalu mengapa antar negara berbeda dalam melakukan pilihan kebijakan (policy choice) penanganan Covid-19?
Ujian Pilihan Kebijakan Publik
Secara teoritis, pilihan kebijakan sebenarnya beranjak dari peta pemikiran analisis kebijakan publik yang merujuk pada empat perspektif kebijakan yakni kebijakan sebagai fenomena politis, deliberative, teknis dan strategis (Howlett dan Ramesh, 1995).
Peta pemikiran analis kebijakan ini bagi para analis kebijakan/elit negara/pemerintah memberikan ruang yang leluasa dalam mengembangkan model dan metode sampai pada pilihan kebijakan (public policy).
Namun demikian, para analis selalu dihadapkan pada situasi dilematis perspektif mana yang harus dipakai untuk menghasilkan analisis yang komprehensif dalam sebuah situasi yang berubah-ubah bahkan mencekam sebagaimana kasus Covid-19 ini.
Output pilihan kebijakan komprehensif yang dihasilkan memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi dan diorientasikan pada ekspektasi kenyamanan objek kebijakan.
Aspek historis – komparatif, timing kasus, dan sosial kultural, dalam arena kebijakan menjadi sangat penting guna bergerak menuju metapolicy making (fleksibilitas). Negara-negara di luar China sebenarnya diuntungkan karena mengacu pada aspek historis-komparatif.
Pelajaran dan pengalaman di China menjadi rujukan pengambilan keputusan untuk mengambil langkah cepat, akurat dan terukur. Negara China misalkan ketika mengetahui sumber virus covid 19 ada di Wuhan, otoritas China melakukan pilihan kebijakan lockdown agar virus itu tidak terjadi eskalasi penyebaran.
Langkah-langkah komprehensif diambil dengan cepat, dari penyediaan para medis yang dikirim ke Wuhan, pembangunan Rumah Sakit Darurat, mewajibkan masyarakat stay at home , dan pencegahannya lainnya hingga sanksi tegas. Nampaknya tidak ada dalam kamus negara China berleha bahwa, “ Belanda Masih Jauh”, atau “ Covid-19 Tidak akan masuk karena pajak masuk mahal” atau “ Covid 19 tidak lebih sama dengan SARS dan MERS”, “ Indonesia Negara kepulauan, aman! Atau yang viral , “Enjoy saja, makan yang cukup!”
Penentuan pilihan kebijakan setidaknya ada dua aras. Pertama, pada negara yang memiliki kecukupan anggaran, fasilitas penunjang penanganan kesehatan, sumberdaya dan perangkat keamanan, kecukupan tabungan warganya, kecukupan dana carity akan mudah dalam mengambil kebijakan radikal berupa lockdown yang ketat (Italia meski menyebut lockdown tetapi tidak ketat antisipasi kontak warga).
Kedua, pada negara yang kurang bahkan defisit anggaran, kurangnya fasilitas penunjang kesehatan (infastruktur, APD, dan obat-obatan), kondisi yang mengarah pada krisis ekonomi, kurangnya tenaga medis akan cenderung mengambil pilihan kebijakan “jalan lain” berupa social distancing (pembatasan sosial).
Alasan mendasar social distancing sebenarnya tidak sekadar pada soal imbauan menghindari kerumunan, maupun stay at home guna mencegah eskalasi penyebaran virus. Tetapi dibalik itu biasanya ada fenomena politis dan ekonomis yang dikhawatirkan elit negara jika mengambil pilihan lockdown seperti efek panic buying, chaos, dan lebih jauh turunnya kepercayaan rakyat pada pemerintah yang mengarah pada tuntutan pamakzulan.
Social distancing memang cara elegan jika menggunakan perspektif elit dalam kondisi negara “kurang berkecukupan”, sehingga Negara akan merambah pada situasi yang disebut Herd Imunnity yang secara harfiah diartikan siapa kuat dia bertahan, siapa lemah dia tumbang, khususnya mereka yang tidak imun, berumur tua atau rakyat yang tak mampu menjangkau asupan imun.
Pilihan kebijakan dengan harapan pada impact herd imunnity ini oleh kalangan medis sangat spekulatif dan berbahaya, apalagi diikuti dengan eskalasi pergerakan orang dari kelompok miskin kota menuju desa asal mereka, karena kota tidak bisa memberikan “makan” selama musim Covid-19 sejak 4 hari terakhir ini khususnya di kota-desa di pulau Jawa.
Tidaklah mengherankan kasus Indonesia, Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat tunduk dan taat atas otoritas Pemerintah Pusat, kecuali itu melakukan koordinasi dan inovasi kebijakan social distancing bersama pemerintah otonom kabupaten/kota, meski dalam arena publik terjadi diskursus soal UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Keniscayaan hirarki otoritas antara pusat – daerah, misalnya bagian dari situasi dilematis ketika terjadi kelambanan dalam pengambilan keputusan.
Lockdown yang Malu-Malu
Sebenarnya realitas hari ini secara nyata kita telah melakukan lockdown yang malu malu, meski tetap bersikukuh dengan sebutan social distancing. Fenomena adanya otoritas pada kepolisian membubarkan kerumunan, gelaran pernikahan dengan maklumat sanksinya, peliburan sekolah, hingga otoritas daerah melakukan langkah buka tutup kawasan secara otonom bisa dikatakan microlockdown.
Langkah ini sebenarnya ibarat menyelesaikan masalah sambil menggali energi penyelesaian masalah, karena aspek ketidaksiapan sedari awal. Kita memberikan apresiasi siasat negara meningkatkan anjuran social distancing naik setingkat berupa anjuran physical distancing, memulai rapid test massal, meningkatkan kapabilitas fasilitas kesehatan, membeli stok avigan dan klorokuin, serta contact tracing yang hasilnya tak dibuka ke umum sebagaimana diberitakan. Langkah ini sesuatu yang lumrah dalam pendekatan kebijakan.
Bromell (2012: 1) pernah mengingatkan bahwa kebijakan itu soal who gets what and who pays given relative resource scarcity. Hanya saja, jika maklumat lockdown disuarakan oleh negara, maka negara akan melaksanakan kewajibannya membayar harapan-harapan publik dengan segala resikonya sebagaimana konsep dari lockdown, termasuk pasal-pasal sebagaimana tertera pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Sanggupkah negara dengan segala risikonya?
Harapan besar publik saat ini, selain pro-konta pilihan kebijakan, tentu saja diperlukan komunikasi kebijakan oleh elit negara yang memberikan rasa nyaman. Publik sangat berempati dengan barisan depan kesehatan paramedic yang terbatas dan berjuang membahu. Jadi kasus Covid-19, tidak bisa lagi membuat alasan pilihan kebijakan atas dasar demokrasi.
Jika pilihan kebijakan social distancing dimaknai sebagai pemaknaan demokrasi dimana warga diberikan pilihan memaknai fenomena Covid-19 dan bertanggung jawab atas diri sendiri adalah kekeliruan besar dan hanya kilah ketidakmampuan Negara dalam menghadapi ancaman lonceng kematian yang dialami rakyatnya.
Kasus China, Arab Saudi, Turki dan beberapa negara di Eropa menangani kasus Covid-19 tidak memilih kebijakan deliberative dimana melibatkan publik dalam perumusan penanganan masalah kebijakan, tetapi menunjukkan bahwa negara harus lebih cepat berpikir dan akurat bertindak dibandingkan arus usulan rakyat dalam rangka menyelamatkan nyawa. Negara China memang selalu memberikan pelajaran.Wallahualam bissawab.(jejakrekam)
Sumber tulisan https://jejakrekam.com/2020/04/09/pandemi-covid-19-ujian-policy-choice/